(August 21, 2014)

Just a day before the day, I got an email from Chandalin, my supervisor in WFI, about an invitation to a regular discussion in Sierra Club. This environmental club established in 1892 and has its regular discussion once in a month at 3rd Thursday. It's interesting that the discussion always open to public. And in August, the theme of discussion was about Willamette River, the river that I'm interested most in USA! So, even it was a last minute invitation, I made it! I felt that I need to come to this event. And I was right!




Last minute e-mail invitation


The theme was "Protecting the Willamette and Environmental Justice: the Portland Harbor Community Coalition". There was a presentation from Portland Harbor Community Coalition (PHCC), presented by Cassie Cohen (the executive director of Groundwork Portland) and Faduma Ali (Community Organizer for Groundwork Portland). Both Cassie and Faduma are amazing women. They are so young and spiritful. They presented about the Willamette river regarding the big project of Portland Harbor Superfund and their work with the coalition. It was the first time I heard about this coalition. Furthermore, we discussed about the pollution in Portland Harbor, concern toward the people affected by the river condition, and the work of government agency in the project (EPA). It was a really fast discussion and sometimes I felt confused. There were too many abbreviations and terms that I didn't know. (And of course they talked really fast. :0 )


At least there were 20 people that came in that Wednesday meeting. It was a very lively discussion where most of the participants were very enthusiast about the topic. They asked many questions that the presenters often cut them. :) . The meeting ended at 9 pm. I had not any chance to ask any questions but I had contact with Faduma. She's lovely girl and I'd like to know about her work more. (I met her again a week after that!).

I need to write more about the discussion but it's too complicated right now and I don't want to be more confused or maybe make you that read this note confused. Haha...

One thing that I know, "I need to know more about the big project of Portland Harbor Superfund!". It's a big project that many parties in this city really concern both from government, environmental organization, public, and community. Why? It's a super big money, big issue, and big impact to the lower Willamette river.

----
That night, I went back home alone, take a bus from 1821 SE Ankeny Street to Barness and Cedar hills blvd. It was almost an hour drive and in the middle of the way I knew that I forgot my keys (I left them in my room).. Still lucky, at least my landlord was awake so I didn't have problem to enter the house. :)

Wilson River - Tillamook

Percakapanku kemarin dengan seseorang menginspirasiku untuk menulis catatan singkat ini. Teman bicaraku waktu itu adalah seseorang yang bekerja di pemerintahan Kota Portland khusus menangani urusan air. Kira-kira begini potongan dialog yang terjadi antara kami.

"So, do you think that people here love the river?", kataku.

"If you ask people that questions, I'm sure they will answer, "Yes, I do". But for me, as my self, I love the river." Dia menjawab.

"If they do, what can they do or what do they do to show their love?", aku tanya lagi.

.... hening sejenak.

"Well, that's a good question! I need to find the answer too. I love the river through my job here." jawaban dia.

Kita berbicara tentang cinta dan bagaimana mengungkapkan cinta. Mungkin bagi seorang pegawai pemerintah khusus di bidang air akan mudah menjawab pertanyaanku. Tapi bagaimana dengan orang biasa? Misalnya saja orang kota, para pekerja kantoran, atau mahasiswa yang hidupnya sama sekali tidak berinteraksi langsung dengan sungai, bagaimana dengan mereka?

Pernah aku bertanya kepada seseorang tentang urusan cinta ini. Jawaban dari pertanyaan pertama sangat mudah. Kamu cinta? Iya saya cinta. Bagaimana? ..... (aku tidak tahu,...)
Bagaimana (How) memang adalah pertanyaan tersulit. Bagaimana mencintai sungai, itu juga pertanyaan sulit. Tapi aku rasa jika seseorang mempunyai cinta, pasti tidak akan sulit menjawabnya. Jika tidak bisa menjawab, maka perlu diragukan rasa cintanya. Tulus atau hanya sebatas omongan saja.

Kenapa?

"Love is an action!" Cinta itu adalah perbuatan, tindakan, nyata dan bisa dirasakan. Sekecil apapun cinta itu pasti ada wujudnya. Tak pernah ada cerita cinta dalam hati saja, itu tidak cukup. Dan aku berani berkata itu bukanlah cinta.

Jika kamu mencintai seseorang maka kamu akan melakukan sesuatu untuk orang yang kamu cintai kan? Kamu akan berusaha membuatnya tersenyum dan bahagia. Kamu bahkan rela berkorban untuknya. Iya kan?

Nah, sekarang aku bertanya juga, "Bagaimana cara kita mencintai sungai? Bagaimana cara kita membuat sungai tersenyum dan bahagia? Apa yang bisa kita lakukan?". Bisakah kita menemukan jawabannya. Harus bisa!

Atau perlu sekali kita bertanya dan meragukan kata 'cinta' yang sering kita ucapkan pada sungai yang semakin hari semakin merana. Terlalu banyak kata cinta yang diterima tanpa aksi nyata. Istilah gaulnya di-PHP-in.

Aku pun demikian. Aku mulai menanyakan pada diriku juga. Apakah aku cinta sungai? Bagaimana caraku mencintai sungai?

Aku mulai dengan mencoba mengenalnya. Karena 'tak kenal maka tak sayang' masih aku percaya. Aku mempelajarinya dan mencoba memahami kebutuhannya, suka-dukanya, deritanya. Berbicaralah dengan sungai melalui bahasa alam, mencoba berbincang. Sekali-kali teriak di pinggir sungai juga tidak apa-apa, asal jauh-jauh dari tetangga. Tapi ternyata mengenalpun tak cukup kan. Cinta memang menuntut, tapi ajaibnya yang dituntutpun biasanya dengan senang hati melakukannya. Sungai menuntut untuk dibersihkan dari sampah! dan sejumlah pecinta sungai pun dengan sukarela memungut sampah itu. Untuk apa? Agar sungai bahagia! Seperti saat kita memberi hadiah untuk pacar kita, biar dia senang.

Ah, jadi ingat teman-teman penjaga sungai di tanah air, teman-teman KPC di Bogor, Garda Brantas di Jatim, River Defender di Riau, Bang Asun dan kelompoknya, YKWS di Lampung,dan banyak lagi. Aku bangga dengan kalian yang telah menunjukkan cara kalian mencintai sungai. Karena kalian tahu, cinta butuh tindakan, tak bisa hanya disimpan di hati saja.

Aku sendiri sedang mencoba bertindak, melakukan sesuatu, tidak mudah memang, tapi hati ini bahagia. Dan selama aku di Portland ini aku mencoba berkenalan dengan Sungai Willamette, sungai yang baru kukenal beberapa bulan lalu. Aku mencintai sungai ini meskipun ini bukan sungaiku. Sungai inilah yang menjadi jembatanku untuk mengenal sungai di tanah air. Memahami apa yang terjadi di sini memberiku gambaran tentang apa yang terjadi di tempat lain. Aku ingin belajar dan memahami, ingin berbagi dan ingin bercerita. Wujud cintaku sederhana, mengenalkannya pada semua yang kukenal, menyebarkannya.

Jadi, aku ingin bertanya pada semuanya saja yang mungkin mampir di tulisan ini, "Apakah kamu cinta sungai? Bagaimana cara kamu mencintainya?"

Kalau kamu tidak bisa menjawabnya, maka keraguan atas nama cinta itu mungkin ada. 

0 comments:

Nathan, Bill, Krystina, and I

“What is Forest to you?”, Bill Wood asked that question  when the first time we came at Magness Memorial Tree farm in Sherwood, Oregon. It is a simple question but believe me, the answer is very difficult. It’s not about forest definition or what can we see in it. For me, it’s more about philosophic matter. What is Forest to me? It is ‘me’, not you or them. My answer will totally reflect my view on forest and more about life itself. I will save my answer for the last paragraph.

Magness Memorial Tree Farm (MMTF) is one of 4 tree farms owned by World Forestry Center in Oregon. This land was donated to World Forestry Center by Howard and Panzy Magness in 1977. Additional lands have been donated by the Robert Heater Family. Bill said that Magness’ gave their land with conditions: it is used for education and must be opened every day in a whole year. Now, it is visited by thousands people every year. Most of them are school kids who want to learn about forest and nature.

Trees at Magness

Bill Wood is the manager of this beautiful 80 acre property with the help from Nathan Boles, his assistant. They are really a good partner and very passionate about trees and forest. Bill assisted us (I and 2 friends- Krystina and Vincent-) in a small tour in this tree farm. We made many stops and discussed many things in it: medicine plants, old growth forest, Spotted Owl, trees, wild life, stream, fish, school kids, etc. Bill’s knowledge about forest is amazing. Later, I knew that he ever visited South East Asia include Indonesia more than 25 years ago. He is a traveler!

After lunch break, we visited other land just beside Magness. Nathan joined us after he finished his job with the kids. We came in the perfect time. Berry’s time! Delicious blackberries were almost every where.

Bill is picking up the berries for us :)

Clear water in the small stream at Magness


We met the baby  mice and the mother. (She's alive! lol )

Back to the question ‘What is forest to you?’. I really don’t know the exact answer. Can I answer a question with another question? I think so. Isn’t it the basic of philosophy? When I was sitting there with Bill and my friends, under the trees in a cloudy day, I remembered about the question and another question popped up in my mind. For me, the answer to ‘what is forest to you?’ is another question, ‘What am I to forest?’.
So, what am I to forest? What is human to forest? Who are we?

I believe that forest has its magical world, something mystical and spiritual. Can we live without forest? I don’t know. Forest is just another world. It grows and lives, even without us. Then we came and tried to manage it. Act God, isn’t it?

Ini adalah catatan awal ketika aku mulai project riset-ku di World Forest Institute tentang pengelolaan sungai. Satu hal penting adalah aku perlu mencari definisi standar yang digunakan di sini. Dan aku langsung ketemu dengan River Basin dan Watershed.

Apa sebenarnya perbedaan istilah itu? Keduanya sering dipakai dalam bidang pengelolaan sungai/air/hutan dan sering kali bertukar tempat. Apakah artinya sama? Atau berbeda? Jika berbeda apanya yang beda? Tidak ada definisi yang pakem atau resmi untuk kedua istilah tersebut. Dari beberapa sumber yang kudapatkan, kedua istilah tersebut memang masih simpang siur definisinya. 
Misalnya, aku pernah tanya pada supervisorku pas masih kerja di Amrik,

Chandalin: "Watershed mengacu pada daerah yang lebih luas dimana air itu mengalir (ini adalah pengertian DAS), dan River basin lebih mengacu pada sungai (basin dalam Bahasa inggris berarti tampungan/wadah). Kata watershed juga lebih umum digunakan.
(dan aku masih ragu, aku pun tanya Sara, program manager-ku)
Sara: Mirip dengan Chandalin. Istilah DAS mengacu pada kata watershed, sedangkan river basin (mungkin) pada sungai (badan sungai).

Aku tanya juga ke hampir semua penggiat air yang kutemui. Jawabannya selalu mirip-mirip, "Well, you know, actually those terms look alike and I'm not sure about the clear definition  between them. But for me, I think.... ".  Mirip dalam artian tidak ada keyakinan yang mendalam. Aneh juga rasanya.
Aku kemudian cek buku "Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu" tulisan Kodoatie 2005, dituliskan bahwa istilah DAS dalam Bahasa Inggris disebut sebagai watershed atau river basin. 
Lhah? Yang mana ini yang benar?

Menurut EPA (Environmental Protection Agency) di http://water.epa.gov/type/watersheds/whatis.cfm
 
What is a Watershed?
A watershed is the area of land where all of the water that is under it or drains off of it goes into the same place. John Wesley Powell, scientist geographer, put it best when he said that a watershed is:
"that area of land, a bounded hydrologic system, within which all living things are inextricably linked by their common water course and where, as humans settled, simple logic demanded that they become part of a community."
Watersheds come in all shapes and sizes. They cross county, state, and national boundaries. In the continental US, there are 2,110 watersheds; including Hawaii Alaska, and Puerto Rico, there are 2,267 watersheds.
 
What is the difference between a River Basin and a Watershed?
Both river basins and watersheds are areas of land that drain to a particular water body, such as a lake, stream, river or estuary. In a river basin, all the water drains to a large river. The term watershed is used to describe a smaller area of land that drains to a smaller stream, lake or wetland. There are many smaller watersheds within a river basin.

Lalu,
di website Pemerintah Kota Portland: https://www.portlandoregon.gov/bes/article/231466

"The Willamette River Basin is the largest watershed in the state, ..."

 Nah lho! Berarti River Basin sama watershed artinya sama dong.

Dan,
 Masih banyak lagi kutemukan 'river basin' dan 'watershed' di jurnal-jurnal, publikasi, buku, dan artikel berita di mana-mana.
Ini sangat membingungkan. Jadi yang mana sebenarnya yang dimaksud DAS? Jika aku berbicara tentang DAS Willamette, maka yang benar Willamette River Basin atau Willamette watershed? Kalau dari rasa-rasaku, yang pas adalah Willamette River Basin. Tapi belum yakin juga.
Tapi kemudian muncul tanya, “Bukannya Willamette adalah anak sungai Columbia, jadi sebenarnya daerah aliran Willamette adalah sub-DASnya Columbia.”
Istilah DAS sendiri mengacu pada sungai yang mengalir sampai ke muaranya di laut (dan danau?), jadi jika ada sungai yang muaranya bukan di laut maka masih dihitung anak sungai (kah?). Satuan wilayah pengairannya-pun akan disebut sub-DAS 1,2, 3, dst tergantung tingkat cabang-cabang anak sungai alirannya atau dengan kata lain ordo sungainya.
Karena watershed dan river basin tidak mensyaratkan adanya muara di laut, maka bisa saja watershed atau river basin digunakan untuk anak-anak sungai (tidak perlu sungai utama).
Apakah demikian?

Nah, 
Akupun tak ingin lama-lama berpusing dengan dua istilah ini. Akhirnya aku simpulkan dengan cukup yakin bahwa antara watershed dan river basin memang 'hampir mirip' tapi tetap beda. Dan dua-duanya bukanlah istilah yang selalu 'pas' dengan DAS.

Watershed dan River Basin sama-sama merupakan wilayah batas aliran air yang menuju ke satu aliran utama. Aliran utama yang dimaksud tidak harus sungai utama yang langsung bermuara ke laut, tapi bisa saja sungai-sungai kecil yang bermuara ke sungai lebih besar. Ini tergantung penggunaan namanya.

Gini lhoh gampangnya. Coba lihat ilustrasi sederhana yang kubuat ini.




 Bayangkan gambar di samping adalah suatu daerah aliran sungai, sebut namanya DAS A. Sungai A ini memiliki anak-anak sungai, misalnya sungai B dan C. Sungai D adalah anak dari sungai B.

Aku bisa menggunakan istilah watershed berkali-kali,

Watershed A = batas biru muda
Watershed B = batas biru muda tebal
Watershed D = batas kuning

Aku bisa juga menggunakan istilah river basin berkali-kali, sama persis dengan istilah watershed di atas.

Bedanya adalah di Amerika (Oregon), penggunaan river basin cenderung untuk wilayah besar/ sungai besar. Sedangkan watershed dipakai untuk banyak sekali keperluan, dari sungai-sungai kecil hingga sungai besar. Ini juga sangat cocok dengan salah satu pertanyaanku, "Kenapa watershed council di sini banyak sekali jumlahnya?" Jawabannya ternyata karena memang watershed yang menjadi wilayah kelola organisasi itu kecil-kecil. Dalam satuan besar, organisasi watersheds biasanya membentuk jaringan ataupun aliansi.

Contoh nih. Sungai Willamette adalah salah satu anak sungai penting bagi Sungai Columbia. Di Willamette River Basin terdapat setidaknya 25 watershed councils yang wilayah aktivitasnya terbagi di anak-anak Sungai Willamette. Cek link tentang Willamette watershed councils.

Akhirnya,
Aku merasa bersyukur bahwa di Indonesia punya istilah yang jauh lebih mudah dipahami dan sangat pakem yaitu DAS = Daerah Aliran Sungai. Apa itu DAS?

"Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan." (UU no. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air)

Nah, definisi DAS sudah sangat pakem dan mantap. Seluruh satuan wilayah aliran air yang mensyaratkan adanya muara terakhir,yaitu danau ataupun laut. Jadi jika melihat ilustrasi di atas yang namanya DAS ya hanya yang garis biru muda, namanya DAS A dan tak ada yang lain-lain lagi. Satuan yang lebih kecil lagi disebutnya sub-DAS.

(Jadi kepikiran, "wah ada juga  yang bisa dibanggakan. I love DAS ! :)  )
(Sebuah catatan yang hampir hilang tentang perjalanan di jantung khatulistiwa, Kalimantan. Ini adalah yang tersisa dari catatan yang hilang karena memang hilang atau karena belum sempat tercatat. :-) )

 6 Desember 2013


Klothok di Pelabuhan Rasau Jaya (Img Source: here)

Sore ini langit Pontianak biasa saja. Di tempat yang baru kukunjungi namun tak memberiku kesan asing. Yah, aku memang masih di negeri sendiri. Indonesiaku yang memberiku sejuta pesona kekaguman yang tak kunjung sirna.
Satu yang seru kali ini adalah bahwa ini menjadi kali ketiganya aku di sini, untuk alasan yang sama, orang yang sama pula.

Seperti biasa, si Singa Udara kambuh penyakitnya. Telat 45 menit dari yang dijadwalkan. Padahal waktu ini menjadi penting terkait keberangkatan perahu sepid (speed boat) yang hanya mau menunggu penumpangnya sampai jam 12 siang. Dan saat jam 12 siang, kami masih nangkring di Bandara Supadio, baru saja keluar dari lambung si Singa Udara.

Jarak bandara - Pelabuhan Rasau Jaya cukup jauh terasa, 30 menit perjalanan dengan taksi berongkos mahal 150 ribu rupiah. Tarif resmi, kata sang sopir. Kami tiba di Rasau Jaya jam 1 siang. Pelabuhan kecil di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang meskipun kecil tapi sangat penting sebagai penghubung wilayah pedalaman Kalbar.
Waktu kami tiba, sepid sudah sejam yang lalu pergi. Sirna sudah jadwal rapi gara-gara si Singa yang molor. Apa yang musti dilakukan? Di tengah jadwal padat yang saling kejar-mengejar, rasa-rasanya buang waktu semalam di kota ini, sungguhlah sayang.

Pelabuhan inipun tak sepenuhnya sepi. Aku lihat kapal-kapal dan perahu bersandar menunggu berlayar. Aih, apa salahnya cari informasi. Beruntung si bapak sopir taksi menjadi guide kami untuk sekedar mencari kepastian di tempat ini. Tak percuma bayar mahal. Dan ya!

Angin segarpun bertiup mengabarkan akan ada motor air yang akan berangkat sore ini ke arah Teluk Melano, tujuan kami. Hari masihlah siang dan tiket katanya baru akan dijual jam 3 sore. Kamipun menunggu di warung-warung kayu yang seakan berjajar mengelilingi pos penjual tiket yang bertembok bata layaknya kantor-kantor dinas. Ah, pemandangan biasa di pelabuhan, terminal, ataupun stasiun.

Dalam penantian, aku mencoba mencari informasi. Kudatangi kantor dinas, agen tiket kapal yang ternyata semua petugasnya berseragam. Kejutan barupun aku dapatkan. Ternyata ada dua jenis perahu yang ada di sana: kapal feri dan motor air alias klothok. Dan lebih terkejut lagi ternyata tujuan kedua perahu itu tak ada yang ke Melano, semuanya akan berhenti terakhir di Pelabuhan Teluk Batang, sebelum Melano.

Terkejut, tapi tetap harus memutuskan dan bergerak. Kamipun memilih diantara dua pilihan yang kurang kami suka. Klothok menjadi pilihan. Kapal feri memang akan lebih cepat sampai dan klothok akan jauh lebih lambat. Yah, namanya saja klothok. Sudah pelan jalannya, bunyinya pasti 'klothok - klothok - klothok'. Asli! Justru di situlah kelebihan si motor air ini. Tak ada yang bisa kami lakukan di malam hari. Dengan lamanya perjalanan, malamnya kami bisa istirahat meski di perahu yang disumpeki oleh berbagai macam penumpang dan kami akan sampai di Teluk Batang ketika subuh. Waktu yang cukup baik untuk melanjutkan perjalanan ke Teluk Melano. Apa jadinya jika kita terdampar di Teluk Batang ketika dini hari. Itu akan terjadi jika kami naik feri.

Sekitar menjelang jam 5 si klothok berangkat. Aku lupa tak mencatat berapa harga tiket yang harus kubeli dengan tawar-menawar. Mungkin sekitar 50 ribu? Ah tidak yakin juga. Tapi yang jelas, setiap beli-beli tiket usahakan untuk selalu mulai menawar. Kalau dapat ya untung kalau tidak ya tidak apa-apa. Tidak semua melakukannya, tapi para agen tiket kadang suka melebihkan harga aslinya.

Matahari mulai tenggelam di arah langit yang pastinya adalah barat. Langit jingga dan sorot surya sungguh menyilaukan tapi juga mempesonakan mata. Ahh, kalau untuk urusan langit, aku memang mudah jatuh cinta. Rasanya seperti terlempar ke negeri dongeng di atas awan jingga sana. Sang pangeran berkuda putih pun menunggu di istana kastil mirip dongeng Eropa. Hahaha.....

Malam menjelang dan kurasakan waktu berlalu sangatlah lama. Ketika aku menulis ini, aku kira sudah menjelang tengah malam. Tapi ketika kulihat jam, ternyata baru lewat sekian menit dari jam 10 malam. Aku mati gaya parah!!! Tak ada yang bisa dilakukan di perahu ini. Dia sedang sibuk dengan lamunannya dan sepertinya akan sulit bagiku untuk membuka obrolan. Tidur pun tak bisa karena tak Pewe (posisi wenak), mau baca buku pun sulit di remang cahaya lampu perahu. Aihh,.... akupun sudah bosan menulis catatan harian ini. Ah sudahlah. Akan kututup tulisan ini dan ikutan melamun. Di tengah-tengah Sungai Kapuas yang remang-remang, hutan nipah di kanan kiri, dan bunyi 'klothak-klothok' aku yakin bisa mendapatkan suasana lamunan yang semoga saja bisa membuatku tertidur hingga esok hari. 12 jam di klothok ini pasti akan segera terlalui.

Semoga,..

Note: Perjalanan ke-3 bersama Shota di Kalbar


MAX train (Img source: here)
Pada awalnya aku pikir transportasi umum di negara maju itu pasti sangat disiplin, selalu tepat waktu dan tidak pernah ada masalah. Setelah sebulan berada di kota terbesar di negara bagian Oregon-Amerika Serikat yaitu Portland, barulah ketahuan bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Ceileh, kayak dakwah yah! Selama 2 hari berturut-turut, sistem transportasi umum Portland yang lebih dikenal dengan sebutan TRIMET mengalami gangguan. Apakah gerangan?
Sejak hari ke-2 aku menginjakkan kaki di AS, tepatnya tanggal 2 Juni 2014, sejak saat itu pula aku berkenalan dengan TRIMET. Ada dua moda transportasi umum di sini, yaitu bus dan kereta listrik yang terintegrasi dan sistem ini disebut Trimet. Semua informasi ada di websitenya di sini.

Jalur-jalur bus banyak tersedia di tempat-tempat strategis dan pemberhentiannya pun lumayan banyak. Selain itu tepat waktu pula. Sangat mudah mencari jadwal bus-bus ini, asal bisa online atau punya pulsa. Tinggal kirim pesanan langsung deh informasi di tangan.

Khusus kereta listrik lebih dikenal dengan sebutan MAX. Ada 4 trayek MAX yang dibedakan berdasarkan warna yang kesemuanya melintasi pusat kota (City Center/ down town), yaitu:
- Red Line MAX = PP Airport – City Center - Beaverton TC
- Blue Line MAX = PP Gresham – City Center – Hillsboro
- Yellow Line MAX = PP Expo Center – City Center – PSU (Portland State University)
- Green Line MAX = PP Clackamas – City Center – PSU

Trimet Max Light Rail (img source: here)
Untuk PP dari rumah homestay sampai tempat kerja aku dapat naik MAX Red Line atau Blue Line yang  sama-sama melintasi Sunset TC (dekat rumah) dan Washington Park (dekat kantor) yang hanya berjarak 1 stasiun. Cukup 5 menit dan sampai. Tapi,… aku harus jalan kaki 25 menit dulu dari Sunset TC – rumah atau sebaliknya. Itung-itung pembesaran betis dan olahraga juga. 

Nah, di musim panas ini, Kota Portland dan sekitarnya menjadi lebih panas dari biasanya. Wajar kan, namanya juga musim panas. Suhu bisa mencapai lebih dari 90 F (32 C). Kalau suhu sudah di atas itu, maka terjadilah gangguan di sistem transportasi rel ini. Semua kereta listrik akan melaju lebih lambat dari biasanya. Keterlambatan bisa mencapai 15-20 menit. Apakah ini menggangguku? Hemm....

(Beruntungnya jadi orang Indonesia itu adalah menjadi lebih sabar. 15-20 menit hitungannya tidak lama jika dibandingkan molornya jadwal kereta di tanah air, macetnya jalanan kota hingga berjam-jam atau bahkan ngetemnya tukang angkot yang biasa maju-mundurin angkotnya buat menarik penumpang. Sudut pandang beruntung atau tidak itu memang sangat rawan ya. Kalau logikanya begini, berarti lebih beruntung jadi orang super miskin atau sakit sekalian karena tidak akan ada lagi yang bisa menyusahkan mereka. Beruntung orang tak punya karena tak akan takut kehilangan. (Halahh,.. kebiasaan tidak fokus mulai lagi nih. Hehehe). Lanjut. )

Ternyata, penyebab kereta api melambat adalah ... (ada yang tahu?). Persis dengan ilmu IPA pas jaman SD dulu. Yap, relnya pada memuai karena kepanasan. Untuk menghindari kerusakan pada kereta dan sistem perkabelan maka kereta-kereta itu jalannya harus diperlambat. Mungkin biar relnya tidak semakin panas karena pengaruh gesekan. (Apakah telatnya kereta di tanah air juga karena ini? Ah, kok tidak yakin ya! Kan suhu Bogor-Jkt biasa tuh diatas 30an. Tiap hari malah.) Enaknya di Portland adalah setiap ada keterlambatan ataupun masalah lain, pengumumannya cepat sekali. Jadi tidak pernah ada cerita calon penumpang terlantar tanpa tahu penyebabnya.

Selain itu, MAX juga bersih dan longgar meskipun kalau jam pulang kantor agak penuh. Bedanya lagi nih, para Portlander (penduduk Portland) tidak rebutan tempat duduk di kereta. Bahkan sejumlah penumpang memilih berdiri dibanding duduk. Tak jarang terlihat banyak penumpang berdiri meski sejumlah kursi masih kosong. Kursi prioritas juga banyak tersedia dan tidak ada yang curhat karena kursinya diminta sama ibu-ibu hamil. Fasilitas khusus lainnya di MAX adalah sebuah ruang yang cukup luas (bisa untuk sepeda, kursi roda, koper besar, dan kereta bayi) dan jalur melandai/ ramp (untuk pengguna kursi roda). Sungguh sangat mendukung semua kalangan kan.


Gantungan sepeda (img source: here)


Tapi tidak semuanya juga bagus. Ini bukan tentang keretanya tapi lebih ke penumpangnya. Kadang-kadang aku melihat penumpang yang kakinya naik ke kursi sebelahnya, atau sampah-sampah yang diselipin di antara kursi. Aih, orang Amrik ada juga yang jorok ya. Tidak banyak sih, tapi tetap saja ada.

Yah, pada intinya aku ingin menyampaikan jika sistem transportasi umum di Portland lebih baik daripada di tanah air. Kenapa? Tepat waktu, responsif, dan melayani segala bentuk keperluan. Apakah kita pesepeda, penyandang cacat, membawa barang besar, ataupun bersama anak-anak, kita akan mendapatkan fasilitas yang memudahkan untuk menikmati layanan transportasi umum. Yah, meskipun tidak semuanya sempurna. Gangguan teknis dan perilaku penumpang yang kurang baik juga bisa ditemui di sistem ini.

Portland,
07 Agustus 2014


Salah satu ilmu jualan yang penting adalah pemasaran. Dan salah satu hal yang penting dalam pemasaran adalah teknik pengemasan. Percuma saja memiliki barang bagus kalau tak terjual. Dan percuma juga menjual banyak tapi tak untung. Nah, di sinilah seni berperan. Seni toh tak melulu tentang lukisan, patung, musik dan literatur. Seni adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kreativitas dan penciptaan berbagai pilihan dan keputusan. 
 
Kata kamus sih begini, “Art is the expression or application of human creative skill and imagination, typically in a visual form such as painting or sculpture, producing works to be appreciated primarily for their beauty or emotional power.” Nah, kenapa jualan termasuk seni juga? Silakan menjawab dengan ‘ber-seni’. Di manakah letak keindahan jualan? 
 
Sudah menjadi pengetahuan umum kalo kemasan memegang peranan penting dalam penentuan harga pasar. Coba bandingkan harga keripik singkong rumahan yang dibungkus plastik bening tanpa label yang terkesan seadanya dengan sebungkus keripik singkong Kus*ka? Meski yang belakangan biasanya isinya angin doang, tapi tetap saja pembelinya banyak. Dengan jumlah yang sama tentu yang bermerk akan menjadi lebih mahal dan orang tetap saja membelinya. Di sinilah letak kekuatan si ‘bungkus’ dan ‘merk’. Mereka berhasil menaikkan nilai barang bahkan berkali-kali lipat dari awalnya. Kekuatan apakah itu?
 
Merk dan kemasan adalah identitas produk. Untuk membeli sesuatu tentu kita butuh informasi tentang barang yang akan dibeli. Ini sama saja dengan logika kita berteman atau bahkan mencari pasangan. Emang mau berteman atau pacaran dengan orang yang gak jelas asal-usulnya. Mungkin ada sih yang mau, tapi tentunya tidak banyak. Sama saja barang, membeli barang tanpa label sama saja dengan membeli bodongan, beli kucing dalam karung, penuh dengan resiko. Jadi label bisa disamakan dengan KTP-nya si barang. Orang kalau udah nunjukin KTP kan minimal kita tahu tuh orang siapa dan darimana. Rasanya lebih aman kan. Beli barang juga begitu, lebih aman jika ada informasinya. 
 
Nah, sekarang aku mau membagi cerita tentang kayu bakar. Lhoh kayu bakar? Yup yup yup, kayu bakar sebagai salah satu hasil hutan. Kemarin aku berkesempatan bertemu Neil Schroeder, ketua Oregon Wodland Cooperative, yaitu koperasi para pemilik lahan kecil di Oregon, yang salah satu usahanya adalah penjualan kayu bakar. Kayu bakar yang dijual tentunya berasal dari hutan milik para anggotanya. Sekedar informasi, hutan-hutan milik yang dikelola masyarakat terkadang disebut juga tree farm atau pertanian pohon. Apa yang istimewa dari kayu bakar koperasi ini?
 
Karena dari awal kita membahas kemasan dan label, maka yang istimewa dari kayu bakar ini adalah dua hal itu. Kayu bakar yang dijual oleh koperasi ini kemasannya menarik dan simple, mudah di bawa dan praktis. Bahkan anak kecilpun bisa mengangkutnya. Coba lihat gambar di bawah ini. 

Kemasan kayu bakar yang praktis dan bersih
Selain itu yang menarik dari kayu bakar ini adalah labelnya. Label muka berisi informasi umum produk dan koperasi penghasilnya, serta kalimat-kalimat bernada kampanye untuk meningkatkan ekonomi local dan mendukung pengelolaan berkelanjutan. Nah, yang unik adalah tulisan di balik labelnya. Di sana terdapat tulisan tentang asal-muasal si kayu bakar, dari tree farm manakah, siapa pemiliknya, dan dimana letaknya. Ini seperti ajang berkenalan antara si pembeli dan penghasil kayu. Label ini memberikan ruang kedekatan di antara produsen konsumen sehingga tercipta hubungan emosional. Yah, menurutku sih si konsumen akan merasa lebih baik karena tahu uang yang dia belanjakan akan lari kemana dan tahu bahwa dia juga tidak menyumbang kerusakan alam. Dan konsumen di Oregon dan mungkin Amerika memang menyukai hal-hal seperti ini, sehingga sertifikasi menjadi sangat penting juga. Jarang orang di sini yang mau membeli barang ‘bodongan’.
Label dan informasi produk yang menarik
Kemasan yang praktis, label yang menarik, serta pelayanan yang baik ternyata membuat harga kayu bakar produksi koperasi ini meningkat bahkan mencapai 3 kali lipat. Konsumen berani membayar lebih untuk itu bahkan katanya pesanan juga terus datang. Konsumen tenang, produsen pun juga senang karena rejekinya bisa lebih banyak. 
 
Yang seperti ini sepertinya perlu dicontoh oleh para pedagang. Semakin lama konsumen semakin pintar, mereka punya hak memilih dan pilihan mereka tidak semata-mata didasarkan pada kuantitas dan harga. Konsumen juga butuh kepastian, ketenangan, dan rasa menjadi orang baik.  Tidak hanya produsen yang dapat belajar, tapi konsumen juga perlu belajar bagaimana menjadi konsumen yang baik. 
Ah, aku jadi kepikiran untuk jualan. Tapi, jualan apa ya?
Mikir,….

Kenapa Cina disebut negeri kerajaan bambu? Pasti salah satunya karena banyak bambu di sana. Cina memiliki kurang lebih 400 spesies atau 1/3 dari seluruh spesies bambu di dunia.Bambu paling banyak diproduksi salah satunya di selatan Sungai YangTse. Kaitan antara sungai dan bambu memang erat sepertinya. :)


Bambu u/ tanaman hias





Selain banyak, bambu juga banyak digunakan oleh orang-orang Cina untuk berbagai keperluan. Pada jaman dulu, bambu dipakai untuk menulis (seperti fungsi kertas). Bilah-bilah bambu dijalin untuk dijadikan alas tulisan. Mungkin kamu yang sering nonton film kolosal Cina sering melihat gulungan bambu bertulis. Selain itu, bambu juga dipakai untuk senjata panah, bahan bakar, rajutan topi, alas kaki, dan banyak lagi. Aku pun yakin jika orang yang pertama kali makan rebung adalah orang Cina. Su Dongpo(1037-1101), sebuah literatur dari Dinasti Song (960-1279) menyebutkan bahwa orang tidak dapat hidup tanpa bambu.Sampai sekarang pun bambu masih sangat penting bagi masyarakat Cina. Bambu dipakai untuk bahan furnitur, sumpit, sendok, bahan bangunan, dan fungsi lainnya.

Pentingnya bambu dalam budaya dan kehidupan orang Cina, menempatkan bambu sebagai ikon hampir di setiap hasil karya dari Cina. Sebut saja lukisan Cina, pasti tak ada yang menyangkal bahwa lukisan bambu sangat identik dengannya. Dalam arsitektur bangunan biasanya akan terdapat ukiran bambu di kayu-kayu penyusunnya. Beberapa minggu yang lalu pun aku berkunjung ke Lan Su Chinese Garden di Portland, Oregon dan menemukan ukiran bambu.

Bambu @ Lan Su CG

Aku jadi teringat tanah air Indonesia. Peran bambu dalam sejarah bumi pertiwi ini pasti semua tahu. Sejak SD aku diajarkan bahwa pejuang jaman dulu melawan penjajah dengan bersenjatakan bambu runcing. Bambu menempati posisi tinggi dalam sejarah RI. Bambu juga adalah rumah bagi para pribumi. Aku masih ingat benar, rumah kakek nenekku yang berdinding bilik bambu. Penopang genteng juga dari bambu. Belum lagi kerajinan bambu. Teman-teman di Bojong Gede (Bogor-Jabar) juga sangat terkenal dengan bangku bambunya. Ah, banyak sekali manfaat bambu memang.

Tapi pertanyaannya, adakah bambu dalam budaya kita? Mungkin ada, hanya saja tidak sepopuler lukisan ataupun ukiran Cina. Tapi apa? Aku belum tahu. Jika ada yang tahu tolong saya ditunjukkan.

Entah kenapa rumpun bambu kadang identik sebagai tempat mangkalnya setan dan jin. Kenapa kisah-kisah horor banyak dikaitkan dengan bunyi berderit bambu tertiup angin. Kenapa ya? Mungkinkah ini sama ceritanya dengan kisah hutan larangan tempat jin buang anak? Bentuk konservasi tradisional kah? Ah masa demikian sih. Jadi mikir, "Kenapa konservasi harus diidentikkan dengan dedemit?". Atau memang ada demitnya?

Aih aih. Budaya Cina diakui atau tidak menyebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Nah, pengaruh budaya bambu Cina di Indonesia, itu yang aku belum tahu benar. 

(Jadi kangen ke Bojong Gede lagi nih, nongkrong bareng di saung bambu, di hutan bambu pinggir Kali Ciliwung). Gimana kabar teman-teman ya? Bang Udin dkk. Semoga selalu baik. )

Nongkrong bareng di saung bambu Bojong Gede. photo by: M Muslich


Keep Kepo.. Keep curious!